Sebelum menjawab pertanyaan "Mengapa ASN
harus Adaptif" mari kita menggarisbawahi bersama bahwa Sumber
Daya Manusia (SDM) adalah aset utama bagi setiap organisasi termasuk birokrasi
pemerintah Indonesia. Sebagai aset utama birokrasi, Aparatur Sipil Negara (ASN)
harus segera mempersiapkan diri untuk menghadapi aneka tantangan global yang
datang silih berganti. Setiap ASN dituntut mempunyai jiwa pembelajar (lifelong learner), sebagai pilar penting dalam membangun sikap adaptif demi
menyongsong berbagai macam tantangan saat ini. Tantangan nyata yang
sedang kita alami saat ini adalah pandemi Covid 19, turut mengubah tata kelola
dan mekanisme kerja di dalam pemerintahan pusat maupun daerah.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang
Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS), menyatakan bahwa tujuan penilaian
kinerja PNS adalah untuk menjamin objektivitas yang didasarkan pada sistem
prestasi dan sistem karier. Peraturan tersebut mewajibkan PNS untuk
menyusun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) berdasarkan perencanaan kinerja pada
tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target,
capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku termasuk disiplin ASN
yang pada akhirnya akan menjadi Penilaian Kinerja Pegawai. Hal ini dilakukan
untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan
sistem karier. Undang-Undang ASN juga mengamanatkan agar penilaian kinerja PNS
dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
Pernyataan tersebut didukung dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai.
Disiplin pegawai adalah kesanggupan pegawai ASN untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan
untuk mewujudkan ASN yang berintegritas moral, profesional, dan
akuntabel.
Lantas, mengapa ASN harus adaptif? Adaptif
merupakan salah satu karakter penting yang dibutuhkan oleh individu
maupun organisasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Terdapat
alasan mengapa setiap ASN harus mengaktualisasikan nilai-nilai
adaptif dalam pelaksanaan tugas-tugas jabatan di sektor
publik. Alasan pertama, adanya perubahan lingkungan
strategis. Lingkungan strategis di tingkat global, regional
maupun nasional yang kompleks dan terus berubah adalah tantangan
tidak mudah bagi praktek-praktek administrasi publik, proses-proses kebijakan
publik dan penyelenggaraan pemerintahan ke depan. Dalam kondisi di mana
perubahan adalah sesuatu yang konstan, dengan nilai sosial ekonomi
masyarakat yang terus bergerak, disertai dengan literasi publik yang
juga meningkat, maka cara sektor publik dalam menyelenggarakan
fungsinya juga memerlukan kemampuan adaptasi yang
memadai. Perubahan lingkungan strategis ini menjadi
sesuatu yang tidak terhindarkan. Tidak ada satu pun negara
ataupun pemerintahan yang kebal akan perubahan ini, demikian juga
dengan Indonesia. Kita tahu bahwa selain isu pembangunan
ekonomi yang mendorong kompetisi antar negara, kerusakan lingkungan juga
merupakan variabel penting dalam memahami perubahan lingkungan strategis.
Perubahan iklim yang salah satunya menciptakan pemanasan global adalah
isu lingkungan yang menjadi pekerjaan rumah seluruh negara
tanpa kecuali. Sebagian besar negara-negara industri dan juga
negara-negara berkembang masuk dalam kategori penyumbang
emisi terbesar sudah seharusnya mengambil peran penting
dalam penanganan perubahan iklim ini. Untuk mengatasi berbagai
perubahan lingkungan strategis tersebut maka diperlukan perubahan cara kerja
melalui adaptasi dunia industri dan sektor terkait dengan cara beralih
dari tradisi industri yang lama. Aktivitas industri yang masih berbasis
kegiatan eksploitasi sumber daya alam, khususnya minyak dan batu
bara misalnya, harus segera dialihkan ke sumber-sumber yang lebih
ramah lingkungan. Adaptasi ini diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan
yang lebih ramah terhadap lingkungan. Negara-negara di dunia juga
dihadapkan pada persoalan global dalam bidang keamanan dan perdamaian
dunia. Kasus-kasus seperti terorisme, radikalisme, konflik regional dan
sebagainya yang cenderung eskalatif dan bertransformasi menjadi cara
dan pendekatan baru akan memaksa negara untuk mengadaptasi
juga cara-cara baru dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Pendekatan
lama dalam menangani persoalan keamanan dan perdamaian tentu menjadi usang
dan tidak ampuh lagi, sehingga negara perlu menemukan pendekatan lain yang
lebih sesuai dengan tantangan isunya.
Alasan kedua, Kompetisi di Sektor Publik. Perubahan dalam konteks pembangunan ekonomi antar negara mendorong adanya pergeseran peta kekuatan ekonomi, di mana daya saing menjadi salah satu ukuran kinerja sebuah negara dalam kompetisi global. Sampai dengan tahun 2000-an, Amerika Serikat dan Jepang merupakan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun satu dekade kemudian, muncul beberapa pemain besar lain, seperti Tiongkok misalnya, yang terus tumbuh dan berkembang pesat menjadi kekuatan ekonomi regional, dan bahkan kini menggeser Jepang dan menjadi pesaing serius Amerika Serikat sebagai negara adidaya baru. Di tingkat regional, khususnya kawasan Asia Tenggara, walaupun Indonesia juga memimpin sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, tetapi negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Filipina atau Vietnam tentu akan selalu menjadi pesaing penting di tingkat regional. Persaingan atau kompetisi adalah kata kuncinya Di sektor bisnis, atmosfir persaingan antar pelaku usaha adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Dengan situasi kompetisi, maka pelaku usaha dipaksa untuk menghasilkan kinerja dan produktivitas terbaik, agar mampu bertahan hidup dari konsekuensi perubahan zaman. Pelaku usaha dengan daya saing tinggi akan terus bertahan dan memenuhi permintaan atau selera pasar. Sebaliknya pelaku usaha yang tidak mampu bersaing akan mengalami kebangkrutan atau mati pada akhirnya. Analog dengan perilaku pelaku usaha yang bersaing satu sama lain, maka negara pun dihadapkan pada situasi berkompetisi dengan negara lainnya dalam pencapaian kinerjanya. Walaupun karakteristik kompetisi antar negara berbeda dengan kompetisi yang terjadi di sektor bisnis. Sehingga negara pun dituntut untuk memiliki kapasitas dan daya saing yang memadai dalam berkompetisi agar dapat menjadi salah satu karakteristik penting dari perubahan lingkungan strategis, yang mendorong dan memaksa negara untuk berperilaku seperti dunia usaha, bersaing untuk menghasilkan kinerja terbaik. Bentuk-bentuk kompetisi tidak langsung bagi negara adalah seperti kriteria kemajuan pembangunan, indeksasi tertentu atau event-event olahraga dan sebagainya. Beberapa lembaga internasional ataupun supranasional membuat kriteria negara yang seringkali digunakan sebagai rujukan keberhasilan kinerja sebuah negara yang terbaik. Dengan demikian, kompetisi menjadi salah satu karakteristik penting dari perubahan lingkungan strategis, yang mendorong dan memaksa negara untuk berperilaku seperti dunia usaha, bersaing untuk menghasilkan kinerja terbaik. Bentuk-bentuk kompetisi tidak langsung bagi negara adalah seperti kriteria kemajuan pembangunan, indeksasi tertentu atau event-event olahraga dan sebagainya. Beberapa lembaga internasional ataupun supranasional membuat kriteria negara yang seringkali digunakan sebagai rujukan keberhasilan kinerja sebuah negara. PBB, misalnya, mengklasifikasi kategorisasi negara ke dalam developed economies, economies in transition, atau developing economies. Sementara IMF membaginya ke dalam advanced economy, an emerging market and developing economy, atau a low-income developing country. Adapun Bank Dunia membagi pengelompokan negara ke dalam high-income economies, upper middle-income economies, lower middle-income economies, dan low-income economies, berdasarkan perhitungan PDB per kapitanya. Indeksasi atau pemeringkatan juga dilakukan oleh berbagai lembaga internasional untuk dijadikan rujukan umumdalam menilai keberhasilan kinerja negara, seperti dalam menangani korupsi dengan Corruption Perception Index oleh Transparency International, atau pemeringkatan kapasitas penggunaan teknologi informasi dalam business-process pemerintahan melalui E-government development index (EGDI) yang dikelola oleh UNDESA. Pun demikian dengan pengukuran daya saing sebuah negara oleh, misalnya, the Global Competitiveness Index dari World Economic Forum serta penilaian kapasitas governance melalui World Governance Index yang dilakukan secara rutin oleh Bank Dunia. Seluruh bentuk kompetisi di atas akan memaksa dan mendorong pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah dengan motor birokrasinya untuk terus bersaing dan beradaptasidalam menghadapi setiap perubahan lingkungan yang terjadi. Adaptasi menjadi kata kunci bagi negara untuk dapat menjadi
Alasan ketiga,Komitmen Mutu. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui kerja ASN di sektornya masing-masing memerlukan banyak perbaikan dan penyesuaian dengan berbagai tuntutan pelayanan terbaik yang diinginkan oleh masyarakat. Kurang berkualitasnya layanan selalu muncul dalam berbagai bentuk narasi, seperti misalnya (1) terkait dengan maraknya kasus korupsi, sebagai cerminan penyelenggaraan pemerintahan yang tidak efisien; (2) banyaknya program pembangunan sarana fisik yang terbengkalai, sebagai cerminan ketidak-efektifan roda pemerintahan; (3) kecenderungan pelaksanaan tugas yang lebih bersifat rule driven dan sebatas menjalankan rutinitas kewajiban, sebagai cerminan tidak adanya kreativitas untuk melahirkan inovasi; serta terutama (4) masih adanya keluhan masyarakat karena merasa tidak puas atas mutu layanan aparatur, sebagai cerminan penyelenggaraan layanan yang kurang bermutu. Standar mutu pelayanan, ASN yang responsif dan cerdas dalam menyelenggarakan pelayanan, serta literasi publik atas kualitas layanan yang terus meningkat menjadi faktor-faktor yang mendorong komitmen mutu yang lebih baik. Penekanan pada mutu kerja juga secara makna juga tertuang dalam peran Pegawai ASN sebagaimana ditetapkan pada Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, yaitu “sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.” Dalam hubungan itu, maka efektivitas, efisiensi, inovasi dan mutu menjadi kata kunci bagi ASN agar berkomitmen dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Konsekuensi penting dari komitmen mutu ini adalah bahwa ASN harus memastikan pelayanan publik terselenggara sebaik mungkin dengan cara apapun, sekalipun harus melakukan perubahan, penyesuaian atau “adaptasi” tentunya.
Alasan keempat, Perkembangan Teknologi. Variabel yang tidak kalah pentingnya yaitu perkembangan teknologi seperti artificial intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, otomasi dan yang lainnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi menjadi salah satu pendorong perubahan terpenting, yang mengubah cara kerja birokrasi serta sektor bisnis. Pada masa di mana teknologi sudah menjadi tulang punggung seluruh business process di sektor bisnis maupun pemerintahan, maka penggunaan metode konvensional dalam bekerja sudah seyogyanya ditinggalkan. Peralihan ini tidak saja bertumpu pada pembangunan infrastruktur teknologi, tetapi juga memastikan SDM, budaya kerja, mentalitas, dan yang tidak kalah penting yaitu tingkat aksesibilitas yang memastikan keadilan bagi warga negara untuk mendapatkan hak pelayanan. Pelayanan publik berbasis digital menjadi salah satu tuntutan perkembangan teknologi dan juga kebutuhan kemudahan bagi warga dalam mengakses dan mendapatkannya. Digitalisasi pelayanan menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menyesuaikan dengan peningkatan literasi digital masyarakat. Dalam rangka memahami perkembangan aspirasi dan kebutuhan masyarakat terkini, pemerintah juga dapat memanfaatkan serta menganalisis big data, sehingga dapat lebih mudah membaca dinamikanya. Bahkan tingkat kepercayaan publik pun dapat dianalisis dari big data. Analisis big data tidak lagi menjadi kebutuhan marketing saja, tetapi melebar lebih luas pada kebutuhan untuk melihat respon masyarakat terhadap layanan pemerintah.
Alasan kelima, Tantangan Praktek Administrasi Publik. Dari seluruh contoh perubahan lingkungan strategis, maka kita dapat melihat bahwa untuk memastikan bahwa negara tetap dapat menjalankan fungsinya, dan pelayanan publik dapat tetap berjalan di tengah-tengah perubahan ini, maka kemampuan adaptasi menjadi penting dan menentukan. Sehingga birokrasi pun dipaksa untuk turut mengubah cara kerjanya untuk mengimbangi yang menjadi tuntutan perubahan. Praktek administrasi publik yang terus berubah dan bercirikan adanya distribusi peran negara dan masyarakat juga telah dikenal dalam banyak literatur. Literatur terkait New Public Management dan New Public Service menjadi rujukan penting bagaimana perubahan praktek administrasi publik yang lebih memperhatikan peran dan kebutuhan masyarakat dibandingkan kondisi peran negara yang dominan pada Old Public Administration. Praktek administrasi publik sebagai pengejawantahan fungsi pelayanan publik oleh negara dan pemerintah selalu berhadapan dengan tantangan yang terus berubah dari waktu ke waktu. Tantangan ini menjadi faktor yang memaksa pemerintah untuk melakukan adaptasi dalam menjalankan fungsinya.
Untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan terkait Nilai Adaptif sebagai salah nilai dari Core Values "BerAKHLAK bagi ASN sebagai Pelayan Publik", silahkan mempelajari modul Adaptif dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI.
0 comments:
Posting Komentar